Selasa, 04 Mei 2010

Jules Rimet

Gegap gempita Piala Dunia 2010 segera menjelang. Tapi mungkin banyak orang yang belum tahu, 80 tahun yang lalu, turnamen akbar empat tahunan tersebut justru dibidani seorang pria yang sama sekali tidak pernah bermain sepak bola.
Jules Rimet, pria kelahiran Prancis, 24 Oktober 1873, tumbuh dengan menggandrungi anggar dan olahraga lari. Tetapi ia kemudian berpaling pada sepak bola untuk mewujudkan mimpinya menciptakan perdamaian dunia.
Jules Rimet lahir dari keluarga pedagang kelontong miskin. Ketekunannya dalam belajar mengantar ia menjadi seorang pengacara. Di sela kesibukan pekerjaannya, pada usia 24 tahun, Maret 1897, ia bersama beberapa rekannya mendirikan klub olahraga Red Star di Paris. Klub itu mewadahi berbagai macam olahraga, termasuk sepak bola yang pada saat itu masih dipandang sebelah mata di Prancis.
Cabang sepak bola itulah yang membuat nasib Rimet lebih jauh. Ia ikut membidani lahirnya badan sepak bola dunia, Federation International de Football Association (FIFA) pada 1904. Selain itu, ia juga berhasil menyatukan federasi-federasi sepak bola Prancis ke dalam satu wadah : Federation Francaise de Football (FFF) pada 1910.
Rimet bersama rekan senegaranya yang juga Sekretaris Jenderal FFF, Henry Delaunay, mulai mengkampanyekan usul digelarnya Piala Dunia. Usul tersebut akhirnya disetujui pada kongres FIFA di Amsterdam, 28 Mei 1928.
Piala dunia pertama digelar pada 1930 di Uruguay, meski Hungaria, Italia, Belanda, Spanyol dan Swedia juga berhasrat jadi tuan rumah. Uruguay terpilih karena merupakan pemegang medali emas Olimpiade 1924 dan 1928, serta siap menanggung semua biaya peserta.
Selama 33 tahun dibawah kepemimpinan Rimet, FIFA tumbuh menjadi organisasi besar. Saat ia pertama kali menjadi ketua, anggota FIFA hanya belasan. Hinnga pada 1954 lembaga itu beranggotakan 85 negara.
Pada 1956, Jules Rimet sempat dinominasikan untuk Hadiah Nobel, tapi juru Norwegia menolaknya. Beberapa kalangan menyebut kontroversi mengenai Piala Dunia 1934, yang dianggap profasis, memupus kesempatan Rimet meraih Hadiah Nobel.

Soccer City Stadium

Stadion yang terletak di pinggiran Kota Johannesburg ini akan menjadi tempat pertandingan pembuka dan final Piala Dunia 2010, selain enam laga lainnya. Soccer City merupakan stadion terbesar di seantro Afrika yang berkapasitas 94 ribu tempat duduk.
Stadion ini memiliki sejarah panjang. Pada tahun 1990, tempat yang dulunya bernama FNB Stadium itu pernah digunakan oleh Nelson Mandela untuk menyampaikan pidato pertamanya setelah bebas dari kurungan penjara selama 27 tahun. Di stadion itu pula tim Bafana Bafana-julukan tim nasional Afrika Selatan-pernah berjaya dan menjuarai Piala Afrika pada tahun 1996.
Sehubungan dengan terpilihnya Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010, FNB Stadium didesain ulang dan diperluas pada 2009. Stadion baru didesain menyerupai calabash, kendi khas Afrika yang berasal dari kulit buah. Sang arsitek dari Boogertman & Partners mengatur agar tak ada penonton yang berjarak lebih dari 100 meter dari lapangan dan setiap kursi memiliki pandangan penuh ke segenap lapangan.
Pengerjaan stadion ini sempat molor. Dijadwalkan rampung pada pertengahan Maret, Soccer City baru akan diserahkan ke FIFA pada 30 April. Tapi secara umum stadion sudah siap pakai. Untuk urusan interior sudah 100 persen rampung. Yang masih terus dikebut hanyalah pengerjaan instalasi kabel fiber dan pembenahan jalan di bagian luar.
Sejak awal tahun, stadion ini sudah dibuka untuk umum. Pengelola membuka tur yang berdurasi 60-70 menit lima kali sehari selama seminggu. Dan hasilnya mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Tercatat, ada sekitar 4.000 pengunjung yang ikut tur pada bulan Maret.

Kamis, 18 Maret 2010

Wasit


Wasit-wasit Eropa mendapat sorotan tajam. Tom Henning Ovrebo, wasit kelahiran Norwegia, kembali menjadi bahan pembicaraan. Hal itu dikarenakan kepemimpinan wasit berkepala plontos tersebut membuat keputusan kontroversial dalam pertandingan Bayern Muenchen melawan Fiorentina di Liga Champions. Sorotan yang sama juga ditujukan kepada Martin Hansson wasit asal Swedia yang memimpin duel Porto melawan Arsenal.
Tentunya kita belum lupa dengan keduanya. Ovrebo musim lalu memimpin pertandingan Chelsea melawan Barcelona di ajang yang sama. Ia dipandang tidak adil dalam bertugas sehingga memunculkan protes keras dari para pemain Chelsea. Sedangkan Hansson adalah wasit yang memimpin duel play-off PENYISIHAN Piala Dunia 2010 antara Rep. Irlandia lawan Prancis, yang terkenal dengan handball Thiery Henry saat menahan bola di depan gawang lawan, namun didiamkan oleh Hansson.
Saat pertandingan di Allianz Arena, Ovrebo memperlihatkan sikap tidak cermatnya. Cukup banyak keputusan controversial, diantaranya pemberian kartu merah untuk pemain Fiorentina Massimo Gobbi lalu disahkannya gol kedua Muenchen yang jelas-jelas offside, serta tidak memberi sanksi kepada Miroslav Klose yang melakukan pelanggaran keras.
Kepemimpinan wasit yang kurang professional tersebut sangat disayangkan banyak pihak. Bahwa wasit tak lepas dari kesalahan itu bisa dimaklumi. Namun ketika kesalahan mendasar dibuat wasit kelas dunia, tentunya menimbulkan banyak pertanyaan. Tidak pantas wasit sekelas Ovrebo yang pernah bertugas di Piala Dunia melakukan kesalahan mendasar yang sangat fatal.
Tak heran jika Badan Sepak Bola Eropa (UEFA) dianggap tidak cermat dalam memilih wasit yang ditugaskan memimpin pertandingan tingkat Eropa. Kredibilitas mereka pun dipertanyakan. Melihat kejadian yang ada, wajar jika orang berpikir pasti ada apa-apanya. Ovrebo dan Hansson memang bukan manusia super yang selalu cermat dalam bertugas. Namun kinerjanya pantas dipertanyakan.

Timnas

Lagi-lagi timnas Indonesia mengalami kekalahan pada pertandingan Pra-Piala Asia. Timnas Indonesia menelan pil pahit harus kalah 1-0 dari tuan rumah Australia. Kekalahan ini seolah melengkapi keterpurukan tim Indonesia yang gagal tampil di ajang Piala Asia dan sekaligus menempatkan timnas bertengger di posisi paling buncit pada Grup B dengan nilai 3 poin.
Sebelum pertandingan, para pemain bertekad mengakhiri “petualangan” di pentas Asia dengan baik. Mereka terpicu untuk membuktikan diri bukan generasi gagal seperti yang dilontarkan Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, setelah kalah 1-2 dari Oman di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Januari lalu.
Selain itu, Bambang Pamungkas dan kawan-kawan juga berhasrat menjadikan pertandingan ini sebagai kado perpisahan yang manis kepada pelati Benny Dollo yang masa kontraknya habis per 31 Januari 2010.
Tapi sayang, hasrat tersebut telah terkubur usai pertandingan melawan Australia. Bermain sebagai tuan rumah, “The Soccerros” hanya butuh hasil imbang melawan Indonesia agar bisa masuk ke putaran final Piala Asia.
Sebenarnya aksi timnas Indonesia melawan Australia hanya laga formalitas. Maklum, “Tim Merah Putih” sudah tidak punya kepentingan lagi setelah dipastikan gagal ke putaran final untuk pertama kalinya sejak Piala Asia 1996.
Berada di Grup B bersama Australia, Kwait dan Oman, timnas hanya mencetak tiga gol dari lima penampilan, mengoleksi 3 poin dari hasil tiga kali seri yang salah satunya melawan Australia pada pertandingan di Stadion Gelora Utama Bung Karno. Tangguhnya tim lain di Grup B membuat Indonesia dijadikan sebagai “bulan-bulanan” oleh tim lawan.

Posisi PSSI

Perlu tidaknya pihak PSSI dilibatkan secara aktif dalam kegiatan Konngres Sepak Bola Nasional, yang menurut rencana digelar di Malang, 30-31 Maret mendatang, masih menjadi perdebatan. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendapatkan amanat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggelar Kongres ini, merasa keberatan jika pihak dari PSSI masuk dan aktif dalam jajaran Panitia Pengarah. Sebaliknya PSSI tetap teguh untuk duduk bersama dalam Panitia Pengarah.
Sebagai pihak yang langsung diberikan mandate oleh Presiden, dan lepas dari apa hasil dari Kongres di Malang nanti, PWI sebenarnya memiliki hak untuk membuat dan mengatur seperti apa jalannya Kongres nanti, termasuk misalnya tidak melibatkan pihak dari PSSI dalam Panitia Pengarah.
Toh, acara Kongres ini memang bukan acaranya PSSI, tetapi acara PWI yang difasilitasi oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenpora. Kemenpora sendiri , walaupun ikut terlibat, tetapi sudah membuat garis batas bahwa mereka tidak akan masuk terlalu jauh dalam menentukan keputusan. Bahwa para pemangku kepentingan olahraga, khususnya sepak bola tetap dilibatkan, itu pasti. Namun bagaimana bentuk dan seberapa besar porsi yang diberikan PWI kepada pihak lainyya di Kongres PWI yang berhak mengaturnya. Karena, sekali lagi, ini adalah hajatnya PWI yang diberi mandate oleh Presiden.
Kini, ditengah meruncingnya perdebatan antara PWI dengan PSSI, peran dan ketegasan Menpora sangat diharapkan. Bahkan jika perlu Tanya langsung kepada Presiden, seberapa besar sebenarnya porsi yang dia berikan kepada PWI dalam urusan Kongres ini.
Sebenarnya tanpa harus melibatkan PSSI pun Kongres tetap bisa dilaksanakan. Toh, buat PWI yang paling penting adalah bagaimana mandat dari Presiden harus dijalankan dengan baik, kemudian mendapatkan rumusan harus bagaimana dunia sepakbola Indonesia membenahi dirinya.

Rabu, 17 Maret 2010

Panik 'ala' PSSI


Setelah timnas senior gagal tampil di putaran final Piala Asia 2010 serta kegagalan timnas U-23 di ajang SEA games yang kalah dari Laos 0-2, membuat prastasi persepakbolaan Indonesia kian menukuk tajam. Kegagalan demi kegagalan terus menghantui sepakbola tanah air.
Kekecewaan publik tanah air atas buruknya prestasi sepakbola Indonesia mendapat tanggapan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bersama PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) serta KONI (KOmite Olahraga Nasional Indonesia) dan tentu saja Menpora, presiden rencananya akan mengadakan Kongres Sepakbola Nasional di Malang, Jatim. Forum yang akan dijadikan solusi bagi perbaikan persepakbolaan Indonesia itu diharapkan akan menghasilkan hasil-hasil penting demi kemajuan bersama.
Kongres sendiri di jadwalkan akan berlangsung pada akhir Maret. Tetapi niat presiden mengadakan hajatan tersebut tampaknya di tanggapi sinis oleh jajaran pejabat PSSI. Hal tersebut dilakukan karena kongres tersebut mungkin akan muncul desakan dari PWI untuk “mereformasi” PSSI. Maklum, para pengurus PSSI sepertinya tidak mau kehilangan jabatannya.
Sikap PSSI pun semakin terlihat seperti “Tidak Dewasa” bahkan seperti seorang yang “Pengecut”. Selain menanggapi dengan sinis kongres tersebut, Nurdin Halid dan jajarannya berniat untuk memboikot acara tersebut dengan pernyataan tidak akan menghadiri kongres yang di usulkan oleh Presiden itu.
Entah apa yang ada di pikiran Nurdin saat itu. Tapi yang jelas, dengan pernyataan boikot tersebut telah terlihat bagaimana sikap “Panik ala PSSI” yang tidak ingin bertanggung jawab atas semua kegagalan tim “Merah Putih” dan juga sangat terkesan untuk tidak mau kehilangan jabatannya.
Untuk yang satu ini, Presiden membalas tanggapan PSSI dengan mengatakan bahwa kongres harus tetap berjalan dengan atau tanpa kehadiran pengurus PSSI. PWI dan Menpora pun mendukung pernyataan Presiden tersebut.
Jika menilik lebih dalam, kegagalan itu tentunya tidak lepas dari lemahnya manajemen organisasi PSSI. Lemahnya manajemen terkait dengan pengelolaannya. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa berbagai kegagalan serta persoalan yang mendera persepakbolaan nasional ini bukan tanggung jawab pengurus PSSI.

Senin, 01 Maret 2010

kambing hitam PSSI

PSSI kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi, tapi lebih dikarenakan kegagalan-kegagalan yang terus menghantam sepak bola tanah air di berbagai ajang. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Mungkin ungkapan tersebut sangat pantas diungkapkan oleh para pengurus PSSI saat ini. Meskipun berada dalam tekanan publik, tak membuat pengurus PSSI gentar dan cenderung hanya mendiamkan saja prestasi sepak bola yang terus menukik.
Mencari “kambing hitam” tampaknya menjadi jurus ampuh bagi organisasi yang di ketuai oleh Nurdin Halid tersebut untuk menghindari kritikan publik. Dalam hal ini, para pemain Timnas-lah yang didaulat menjadi korban “kambing hitam” Nurdin Halid. Pernyataan ketua PSSI yang menyalahkan seluruh kegagalan kepada pemain sontak membuat para punggawa Timnas berang. Mereka jelas sangat kecewa dengan pernyataan sang ketua umum tersebut yang selalu bertindak tidak sportif dan tidak mau di salahkan. Padahal jika melihat kondisi Timnas saat ini, PSSI harusnya yang bertanggung jawab atas semua kegagalan ini mengingat PSSI-lah yang selaku organisasi tertinggi sepak bola di Indonesia.
Masyarakat yang sudah muak dengan prestasi sepak bola dibawah rezim Nurdin Halid tampaknya menginginkan muka baru yang lebih pantas dalam mengurus berbagai persoalan PSSI. Tapi para pengurus PSSI tetap tidak mau mundur dari jabatannya dan terus meyakinkan masyarakat untuk prestasi yang lebih baik. Itulah gambaran pengurus PSSI yang sudah jelas bekerja tidak professional. Untuk urusan yang satu ini mereka malah menyalahkan wartawan yang menurutnya selalu memberitakan prestasi buruk Timnas. Padahal memang kenyataannya seperti itu adanya. Timnas memang tidak pernah mendapat prestasi yang baik sejak PSSI dibawah kepemimpinan Nurdin.
Tak salah jika masyarakat semakin resah mengikuti perkembangan dunia sepak bola negeri ini yang semakin tidak jelas arah tujuannya. Mengharapkan para pejabat PSSI mengakui kegagalan dan mau meletakkan jabatannya tampaknya hanya impian saja mengingat PSSI dibawah komando Nurdin Halid merupakan sosok yang “gemar” melawan arus.
Ukuran keberhasilan dalam olahraga terutama sepak bola begitu sederhana yakni prestasi. Nah jika dalam rentang waktu kepemimpinan sebuah rezim kepengurusan PSSI tidak menghasilkan apa-apa, jawabannya jelas mereka gagal. Persoalannya hanya pada kejujuran dan kedewasaan untuk mau atau tidak mengakui kegagalan tersebut.